google-site-verification: google42f5df8ae0c2c4ef.html O L A H R A G A: ANAK AUTIS DAPAT DIKATAKAN MENGALAMI KEMAJUAN

Senin, 31 Maret 2008

ANAK AUTIS DAPAT DIKATAKAN MENGALAMI KEMAJUAN

Penjelasannya agak panjang ya. Sekalian mengeluarkan uneg-uneg saya tentang situasi autisme di Indonesia. Gangguan autistik ditandai 3 gejala utama (semua sudah tahu kan??) yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Di antara ketiga hal tersebut, yang paling penting diperbaiki lebih dahulu adalah interaksi sosial. Bila interaksi membaik, seringkali gangguan komunikasi dan perilaku akan membaik secara otomatis. Banyak orang tua yang mengharapkan anaknya segera bicara. Tanpa interaksi yang baik, bicara yang keluar seringkali berupa ekolalia, mengulang sesuatu yang didengarnya. Komunikasi juga tidak selalu identik dengan bicara. Bisa berkomunikasi non verbal jauh lebih baik dibandingkan bicara yang tidak dapat dimengerti artinya. Sekarang coba perhatikan apa yang dimaksud dengan gangguan interaksi, secara mudahnya lihat pada kriteria Gangguan Autistik DSM IV: 1. Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal (perilaku yang dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak mata. Ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk mengatur interaksi sosial. 2. Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai. 3. Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan mencapai sesuatu hal dengan orang lain, misalnya tidak memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk ke suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan dengan orang tua. 4. Kurangnya interaksi sosial timbal balik.Misalnya: tidak berpartisipasi aktif dalam bermain, lebih senang bermain sendiri. Jadi perbaikan tidak hanya pada kontak mata saja, tetapi harus menyeluruh, bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungannya. Kemampuan "sharing" sangat penting. Banyak anak autistik yang bisa menatap mata tapi tidak bisa berinteraksi, tentunya tujuan terapi bukan ini kan? Bagaimana memantau kemajuan? Kalau mau secara ringkas form ATEC dari Autism Research Institute bisa dipakai, walaupun tidak detail. Selain itu, masing-masing disiplin ilmu dan masing-masing teknik terapi, baik ABA, Floor Time, SI, Play-based treatment dll masing-masing mengembangkan metode penilaiannya sendiri-sendiri, dan harus membuat laporan perkembangan setiap bulan atau setiap 3 bulan. Yang celaka kalau anak mengikuti program terapi (apa saja) tanpa assessment, dan tanpa ada metode memantau keberhasilan terapi tersebut. Bagaimana tahunya anak menjadi baik? Sudah capek2 terapi intensif 6 bulan hanya menghasilkan kontak mata bertambah beberapa detik? Menurut saya sih sia-sia. Bagaimana memilih terapi yang tepat? Tergantung keadaan anak. Dalam keadaan awal, anak masih sangat kecil sekitar 1,5-2 tahun, gejala berat sebaiknya SI dulu sampai interaksi membaik. Menurut pengamatan saya, SI bukan unggul karena alat-alat dan cara terapi yang "aneh" tapi karena anak sambil bermain dilatih berinteraksi. Jadi sekedar SI diputar-putar atau kulit di sikat-sikat atau disuruh main trampolin semaunya juga tidak betul. Sambil SI biasanya dilakukan Floor time atau play therapy. Anak yang berinisiatif, orang tua dan terapis mengikuti kemauan anak sambil mencoba berinteraksi dengan anak. Jangan salah: ada anak yang bisa dengan floor time, ada yang tidak. Bila interaksi sudah membaik, boleh mulai dengan ABA/ OT. ABA sangat baik untuk meningkatkan kepatuhan dan fungsi kognitif atau kepandaian. ABA juga bukan sekedar "Duduk-duduk, tirukan-tirukan, lihat-lihat" dll, tapi ada metodenya. Sayangnya yang banyak saya lihat hanya "Duduk-duduk, tirukan-tirukan, lihat-lihat" yang dilakukan tanpa menyelami maksud ABA yang lebih mendalam. Kursus beberapa kali lalu menjadi terapis tentunya kurang benar. Yang juga tidak saya setujui adalah orang tua tidak diperkenankan melihat bagaimana anaknya dilatih. Masuk kamar tertutup, dikunci, lalu setelah 1 jam selesai. Di rumah mau diapakan oleh orang tuanya? Kalau di rumah tidak diberi program, sama saja dengan pasien menjadi sapi perahan. Harus tergantung pada terapisnya. Sepintas Floor time dan ABA berbeda ya, satu inisiatif dari anak, satu inisiatif dari terapis. Tetapi dengab kreativitas terapis sebenarnya kedua cara ini dapat dipadukan. Nah, kalau anak sangat hiperaktif, self-injurious behavior, tantrum bagaimana mau ikut terapi? Bayar 1 bulan cuma buat menangis saja. Dalam keadaan ini mungkin perlu obat dokter dulu untuk menenangkan. Sayangnya sekarang semua orang lebih suka mencoba berbagai terapi alternatif yang belum jelas keberhasilannya dibandingkan obat doter yang disebut sebagai "Racun" dll. Masak dokter gila betul mau meracun pasiennya. Disini perlunya diskusi antara dokter dengan pasien untuk menentukan bersama obat apa yang sekiranya diperlukan. Jadi bukan dengar cerita teman bahwa susu kambing bagus lalu semua pakai susu kambing (dari segi kedokteran susu kambing idem dengan susu sapi). Jangan pula kejeblos pakai obat atau obat alternatif harganya jutaan sekedar dengar dari teman. Jangan pula kejeblos ikut terapi harganya jutaan hanya disuruh "Duduk-duduk, ilihat-lihat dan tirukan-tirukan" Maaf untuk teman-teman dan terapis-terapis, jangan tersinggung dengan cerita ini. Sekedar ingin meluruskan saja.